Artikel ini mengeksplorasi perilaku pemerintahan daerah di era desentralisasi di Indonesia dengan menggunakan kerangka institusionalis baru. Berangkat dari argumen bahwa demokratisasi dan desentralisasi Indonesia menciptakan aktor-aktor politik baru di ranah lokal, sebagaimana ditunjukkan oleh meningkatnya jumlah daerah otonom baru setelah kebijakan desentralisasi dimulai pada tahun 1999.
Artikel ini berpendapat bahwa, pertama, lembaga informal dapat menjadi pengganti formal. pengaturan dalam pemerintahan daerah. Kedua, tata pemerintahan lokal dan perilaku politik lokal bias elit yang memanfaatkan lembaga demokrasi formal secara tepat untuk kepentingan elit. Untuk mengeksplorasi fenomena tersebut, digunakan metode studi kasus yang berfokus pada Provinsi Gorontalo sebagai salah satu produk kebijakan desentralisasi di Indonesia.
Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam, FGD, sumber sejarah, dan outlet berita berbasis internet. Artikel ini menyimpulkan bahwa model pemerintahan daerah di Gorontalo merupakan arena adu kekuatan sosial. Hal ini terlihat dari kepentingan bersama antara elit adat dan kepentingan pemimpin formal, yang dipilih melalui mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung.pilkada ). Kepentingan bersama dalam prosedur formal dan informal dimanfaatkan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Kelompok elit pemimpin budaya menggunakan sumber daya ideologis yang bersumber dari nilai-nilai, ajaran dan kearifan tradisional yang tidak hanya mempengaruhi jalannya pemerintahan lokal, tetapi juga untuk membatasi perilaku formal pemimpin.
1. Institusionalisme baru
Institusionalisme pada dasarnya adalah studi tentang institusi dalam konteks interaksi manusia yang berbeda. Ini berkaitan dengan institusi yang didefinisikan sebagai “hukum, kebiasaan atau praktik”, “praktik dan kebiasaan pemerintahan”, “bentuk organisasi sosial”, “prosedur dan praktik khusus”, “interaksi berpola yang dapat diprediksi”, dan “kode etik informal, kontrak tertulis, organisasi yang kompleks” (Lowndes & Roberts, 2013 , hal. 3; Guy, 1999, p. 18).
Berbagai definisi ini memberi tahu kita bahwa institusi ada di setiap bidang kehidupan kita, dari sosial, ekonomi hingga politik. Kita bisa menggambarkan pasar, pemilu, partai politik, masjid, pernikahan, hingga media sebagai institusi.
Institusionis menganggap bahwa perilaku dan identitas manusia dibentuk dan dipengaruhi oleh institusi tempat mereka terjadi dan diamati selama interaksi manusia. Namun, pertanyaan yang paling penting adalah apa artinya menggambarkan institusi sebagai “politik”? Apa perbedaan antara institusionalisme “lama” dan “baru”?
2. Politik lokal dan demokrasi elit
Demokrasi elite, sebagai alternatif pengaturan sistem politik, jika dibandingkan dengan model demokrasi liberal atau oligarki, menawarkan gagasan rekonsiliasi. Demokrasi elit, atau disebut juga deliberatif elit, adalah salah satu dari empat teori utama demokrasi: demokrasi kompetitif, musyawarah elit, demokrasi partisipatoris, dan demokrasi deliberatif (Fishkin, 2009 , hlm. 65–85).
Pertama kali dirumuskan oleh Joseph Schumpeter, demokrasi elit mempertahankan argumen bahwa pemerintahan perwakilan, meskipun diisi oleh model-model elitis, tetap dapat berdamai dengan prinsip-prinsip demokrasi (Barker, 2013 )., p. 548).
Pandangan ini ingin mendamaikan antara setting model elitis, yang pada prinsipnya bertentangan dengan model demokrasi liberal yang memilih pemerintahan secara langsung, kompetitif, dan terbuka.
Demokrasi yang mengacu pada pemerintahan berdasarkan kehendak umum, seperti yang dirumuskan Rousseau, tidak mungkin tercapai menurut pandangan elit demokrasi. Hal ini berbeda dengan teori demokrasi partisipatif yang mengatakan bahwa partisipasi warga negara yang lebih luas merupakan prinsip fundamental legitimasi demokrasi.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, beberapa kajian tentang kondisi politik, ekonomi, dan sosial Indonesia pasca Orde Baru didominasi oleh perspektif elitis, sementara pada saat yang sama Indonesia berhasil menjalankan sistem demokrasi elektoral secara terbuka dan langsung selama hampir 20 tahun. Dalam perspektif teori demokrasi,
Jika kita melihat fenomena transisi demokrasi di beberapa negara yang sebelumnya didominasi oleh rezim otoriter atau totaliter, masalah utamanya terletak pada masalah pengaturan otoritas kekuasaan yang sah dalam suatu pemerintahan sosial dan model pemerintahan seperti apa yang akan digunakan.
Model demokrasi partisipatif mengatakan bahwa partisipasi warga negara secara langsung dan luas dalam proses pengambilan keputusan merupakan hal mendasar bagi legitimasi demokrasi (Balderacchi 2016).
Roberts (dalam Balderacchi 2016) secara implisit menunjukkan bahwa legitimasi politik ditentukan oleh akuntabilitas pemerintah yang dipilih dari hasil pemilihan yang populer, bergeser dari model pemerintahan elitis yang tidak memberikan ruang kedaulatan bagi individu untuk terlibat secara independen dan bebas dalam pengambilan keputusan dan bebas dari pengambilan keputusan dan bebas dari pengambilan keputusan dan secara bebas proses.
Namun, baik secara teoritis maupun empiris, fenomena regulasi politik yang merupakan legitimasi elit dalam sistem demokrasi tetap tak terhindarkan. Ini telah lama diantisipasi oleh banyak akademisi, salah satunya oleh Joseph Schumpeter, dalam kapitalisme, sosialisme, dan demokrasi , yang menawarkan teori demokrasi elit.
Selain itu, Federalist Papers (1788) juga menawarkan ide -ide tentang model pengaturan pemerintah yang representatif yang dapat hidup berdampingan dengan prinsip -prinsip demokratis.
3.Mengakomodasi nilai-nilai baru atau mendemokratisasi institusi lama
Keberadaan pranata sosial masyarakat Gorontalo didasarkan pada nilai dan aturan adat, yang terus dipertahankan oleh Dewan Kebudayaan. Dewan Kebudayaan juga mampu mempertahankan eksistensi dan koeksistensinya dengan lembaga pemerintahan dimana aturan dan nilai budaya mulai dipisahkan dari pemerintahan kerajaan sejak masa kolonial.
Semua sumber sejarah dan hasil wawancara dengan masing-masing narasumber menyebutkan bahwa nilai dan kaidah adat sebagai sumber pranata sosial masyarakat Gorontalo diwariskan secara lisan melalui tujai / tujae.(kata bijak; puisi tradisional; peribahasa; ungkapan luhur) dan dipraktikkan secara turun-temurun dalam upacara adat.
Dalam bentuk ucapan atau praktik sehari-hari, budaya diciptakan untuk mengatur hubungan perilaku antara individu, keluarga, masyarakat dan pendatang. Selain itu, budaya juga digunakan untuk mengatur hubungan manusia dengan alam dengan anggapan bahwa alam merupakan entitas yang aktif dalam hubungan tersebut.
Setting tersebut tertuang dalam perilaku berupa ritual adat, seperti sembahyang atau sesaji (Moh & Ihsan, 2012, p. 179–180). Bagian ini akan mengupas tentang nilai-nilai budaya, aturan, perilaku, dan pranata yang menjaga keberlangsungan dan jati diri masyarakat Gorontalo dalam mengatur kekuasaan penguasa, khususnya pasca berlakunya undang-undang pemerintahan daerah sejak tahun 1999.